Bersyukur Terhadap Nikmat Allah
Penulis -Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab- berkata, “Dan semoga Allah menjadikan kamu termasuk orang yang apabila diberi nikmat maka dia bersyukur.”
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya kebanyakan orang apabila diberi nikmat maka mereka justru kufur dan mengingkarinya, bahkan mereka menggunakannya bukan dalam ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla, sehingga hal itu menjadi sebab kebinasaan diri mereka. Adapun orang yang bersyukur maka Allah akan menambahkan nikmat kepadanya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Rabb kalian telah mengumumkan jika kalian bersyukur pasti Aku akan tambahkan nikmat kepada kalian.” (Ibrahim : 7).” (lihat Syarh al-Fauzan, hal. 8)
Syaikh Shalih as-Suhaimi hafizhahullah berkata, “Apabila Allah tabaraka wa ta’ala memberikan rizki kepada seorang hamba berupa kenikmatan maka dia pun bersyukur kepada Allah dengan istiqomah dalam ketaatan kepada-Nya dan melakukan amal-amal yang diridhai-Nya. Dan kenikmatan terbesar yang wajib untuk kita syukuri adalah ketika Allah berikan hidayah kepada kita untuk memeluk Islam. Maka segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan agama ini kepada kita. Dan kita tidak akan bisa mengikuti petunjuk itu apabila Allah tidak memberikan hidayah kepada kita.” (lihat Syarh Syaikh Shalih as-Suhaimi, hal. 3)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak hafizhahullah berkata, “Kenikmatan itu mencakup pula ketaatan. Bahkan nikmat berupa keimanan dan ketaatan kepada Allah itu jauh lebih agung daripada nikmat keduniaan, dan wajib atas setiap muslim untuk mensyukuri nikmat-nikmat itu.” (lihat Syarh Syaikh al-Barrak, hal. 8)
Sallam bin Abi Muthi’ rahimahullah berkata, “Hendaklah kamu terhadap nikmat agama yang diberikan Allah kepadamu lebih bersyukur daripada syukurmu atas nikmat yang diberikan Allah kepadamu dalam urusan duniamu.” (lihat Aina Nahnu min Ha’ula’i, 2/305)
Syaikh Shalih alus Syaikh hafizhahullah menjelaskan, bahwa syukur diwujudkan dalam bentuk ucapan dan amalan. Adapun syukur dalam ucapan adalah dengan menyandarkan nikmat itu kepada Allah; karena Allah lah yang memberikan nikmat. Allah berfirman (yang artinya), “Apa pun yang ada pada kalian berupa kenikmatan, maka itu adalah berasal dari Allah.” (An-Nahl : 53). Adapun syukur dalam bentuk perbuatan adalah dengan menggunakan nikmat itu dalam hal-hal yang dicintai oleh Allah. Bahkan syukur itu sendiri adalah termasuk ibadah yang sangat agung dan dicintai oleh Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan betapa sedikit diantara hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (Saba’ : 13) (lihat Syarh Syaikh alu Syaikh, hal. 5)
Syaikh Shalih al-Luhaidan hafizhahullah menerangkan, bahwa syukur dalam bentuk perbuatan atau amalan itu bermacam-macam. Apabila nikmat itu berupa harta maka hendaklah dia menyisihkan sebagian hartanya untuk sedekah dan dia berharap hartanya semakin berkembang dalam kebaikan. Karena sesungguhnya sedekah tidaklah mengurangi harta. Apabila nikmat itu berupa ilmu, maka hendaklah diajarkan kepada orang lain dalam rangka menggapai pahala dan supaya orang lain juga mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan seperti yang dia rasakan. Apabila nikmat itu berupa kesehatan badan dan waktu luang maka hendaknya dimanfaatkan dalam perkara yang dicintai oleh Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu karena keduanya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari). Apabila seorang hamba senantiasa memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya maka niscaya apa-apa yang dikaruniakan Allah kepadanya menjadi penuh dengan keberkahan, apakah itu yang berupa harta, kesehatan, ilmu, istri ataupun anak-anaknya (lihat Syarh Syaikh al-Luhaidan, hal. 3-4)
Muhammad bin Ka’ab rahimahullah menjelaskan maksud dari ayat (yang artinya), “Beramallah wahai keluarga Dawud sebagai bentuk syukur.” (Saba’: 13). Kata beliau, “Hakikat syukur adalah bertakwa kepada Allah dan melaksanakan ketaatan kepada-Nya.” (lihat Min Kitab az-Zuhd li Ibni Abi Hatim, hal. 65).
Muhammad bin al-Hasan rahimahullah menceritakan: as-Sari bertanya kepadaku, “Apakah puncak syukur itu?”. Aku menjawab, “Yaitu Allah tidak didurhakai pada satu nikmat pun -yang telah diberikan-Nya-.” Lalu dia mengatakan, “Jawabanmu tepat, wahai anak muda.” (lihat al-Fawa’id wa al-Akhbar wa al-Hikayat, hal. 144)
Abu Hazim Salamah bin Dinar rahimahullah berkata, “Setiap kenikmatan yang tidak semakin menambah kedekatan kepada Allah ‘azza wa jalla maka pada hakikatnya hal itu adalah bencana.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 888)
Sabar Menghadapi Musibah
Penulis rahimahullah mengatakan, “dan semoga Allah menjadikan kamu termasuk orang yang apabila diberi cobaan/musibah maka dia pun bersabar.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah mendatangkan kebaikan baginya. Dan hal itu tidaklah dijumpai kecuali pada diri orang yang mukmin. Apabila dia diberi kesenangan maka dia pun bersyukur, maka itu baik baginya. Dan apabila dia ditimpa dengan kesulitan dia pun bersabar, maka hal itu pun baik baginya.” (HR. Muslim)
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Seorang mukmin ketika tertimpa musibah dia pun bersabar. Dan ketika mendapat nikmat dia menjadi orang yang bersyukur. Pada saat tertimpa musibah-musibah dia berhasil meraih pahala orang-orang yang sabar, dan pada saat mendapat kenikmatan dia berhasil menuai pahala orang-orang yang bersyukur. Oleh sebab itu dia berhasil dan beruntung dalam kedua keadaan ini.” (lihat Syarh Syaikh Abdurrazzaq al-Badr, hal. 12)
Syaikh Shalih as-Suhaimi hafizhahullah berkata, “Disebabkan besarnya urgensi kesabaran maka sesungguhnya kedudukan sabar itu -dalam iman- seperti kedudukan kepala bagi tubuh. Oleh sebab itulah Allah menyebutkan perkara sabar ini di dalam Al-Qur’an pada lebih dari sembilan puluh ayat. Karena itu haruslah bersabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah, demikian juga diwajibkan untuk sabar dalam menjauhi maksiat kepada Allah, dan harus bersabar pula dalam menghadapi takdir-takdir Allah…” (lihat Syarh Syaikh as-Suhaimi, hal. 3)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Allah jalla wa ‘ala menguji hamba-hamba-Nya, yaitu Allah menguji mereka dengan berbagai musibah, menguji mereka dengan hal-hal yang tidak menyenangkan, bahkan Allah juga menguji mereka dengan adanya musuh-musuh dari kalangan orang kafir dan munafik. Oleh sebab itu mereka butuh kesabaran dan tidak berputus asa atau pupus harapan terhadap rahmat Allah, agar mereka tetap teguh di atas agama dan tidak goyah bersama terpaan fitnah-fitnah atau justru pasrah/kalah kepada fitnah-fitnah itu. Akan tetapi semestinya mereka terus tegar di atas agamanya dan bersabar dalam menghadapi berbagai tekanan dan rintangan di atas jalan itu.” (lihat Syarh Syaikh al-Fauzan, hal. 8-9)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum maka Allah akan memberikan ujian kepada mereka. Barangsiapa yang ridha maka dia akan mendapat keridhaan Allah. Dan barangsiapa yang murka terhadap ujian itu maka dia pun akan mendapat kemurkaan dari Allah.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)